Server Dalam Negeri? Maaf, Nggak Dulu Deh

Berikut ini beberapa alasan mengapa saya tidak menggunakan server dalam negeri, khususnya VPS (Virtual Private Server) dan Dedicated Server. Bukannya saya tidak nasionalis, bahkan saya sejak awal ingin menggunakan server dalam negeri. “Semakin dekat berarti semakin cepat,” begitu pemikiran saya. Beberapa kali saya pernah mencoba, tapi berakhir dengan kekecewaan. Pengalaman “pahit” yang baru saja menimpa saya, semakin memperkuat tekadku untuk sementara ini lebih memilih produk luar negeri.

Untungnya, ada kabar menggembirakan.
Alibaba Cloud (perusahaan China) mengumumkan di bulan Februari 2018 akan membuka datacenter-nya di Jakarta.  Tentu ini berita sangat menggembirakan, sebab sebelum ini, datacenter terdekat —milik perusahaan luar negeri— adalah Singapura. Beberapa perusahaan raksasa telah membuka datacenternya di Singapura, misalnya Linode, DigitalOcean, Vultr, dan OVH. Ini belum termasuk Google Cloud dan Amazon Web Service / Lightsail. Cuma sayangnya Google Cloud dan AWS termasuk lebih “mahal” bila dibandingkan 4 perusahaan yang telah disebut terdahulu.

Niat sang Raksasa ini tentu saja harus disikapi serius oleh perusahaan-perusahaan cloud hosting di dalam negeri, sebab sebentar lagi sang kompetitor tidak berada di luar negeri, tapi di gedung sebelah dengan pembayaran memakai mata uang rupiah! Tarif lebih murah, layanan lebih baik.

Oke, kembali ke pokok bahasan. Mengapa untuk sekarang ini saya menghindari penggunaan VPS dalam negeri? Setidaknya saya mempunyai 4 alasan.

Alasan #1: Harga.

Tengok saja misalnya perusahaan besar berinisial MW dan RW. Tarif paling murah Rp 220.000 (sudah termasuk pajak). Padahal RAM hanya 512 MB yang di Vultr cuma $ 2.5 (atau sekitar Rp 34.000).  Ada yang lebih murah yaitu IC. Perbulan dipatok Rp 154.000.

Di luar negeri, dengan € 2.96 (sekitar $ 3.67 / Rp 49.600) kita bahkan sudah bisa menyewa VPS berspesifikasi 1 vCPU, 2 GB RAM, 20 GB disk, dan quota 20 TB.

Tentu saja mahal dan murah sifatnya “relatif”, mengingat VPS dalam negeri umumnya managed yang berarti cocok untuk para newbie yang masih butuh bantuan dari technical supports.

Alasan #2: Kualitas infra struktur.

Saya pernah dibuat pusing karena VPS dalam negeri pada suatu ketika hanya bisa diakses dari dalam negeri. Mungkin saat itu sedang ada gangguan.  Namun saya berpikir, “Itu gangguan yang sempat dipergoki. Berarti mungkin pernah juga terjadi gangguan sama, hanya saja saya tidak mengetahui.”

Lagi pula, website yang servernya di dalam negeri dirasa lambat loadingnya bila diakses dari luar negeri. Padahal kecepatan loading adalah salah satu kriteria Google Search dalam menentukan peringkat (rank).

Alasan #3: Kemudahan pemakaian.

Bagi yang pernah atau sedang memakai VPS Digital Ocean dan Vultr tentu tahu betapa mudahnya membuat dan menghapus suatu VPS (disebut Droplet). Semua serba otomatis dan hanya dalam hitungan detik. Sedangkan VPS dalam negeri harus melalui bantuan petugas yang kadang kala butuh waktu beberapa jam.

Alasan #4: Aturan billing yang “aneh”.

Nah, ini yang sempat membuat saya kecewa. Saya terbiasa memakai jasa luar negeri. Umumnya aturan mereka adalah: Bila tagihan tidak dibayar maka bulan berikutnya layanan dihentikan dan tagihan tidak dilanjutkan. Sebagai contoh: Saya mendaftar tanggal 1 Januari. Diminta membayar sekian untuk biaya layanan selama 30 hari ke depan. Di akhir bulan Januari akan muncul tagihan untuk layanan bulan Februari. Bila tidak dibayar maka layanan dihentikan. Umumnya yang berlaku demikian.

Tapi ada perusahaan dalam negeri (namanya belum pernah disebut di artikel ini) yang membuat peraturan bahwa saya harus memberitahukan niat penghentian layanan minimal 8 hari sebelum kontrak berakhir. Jadi ketika tanggal 25 Januari saya mengutarakan bahwa layanan tidak diperpanjang (yang berarti cuma sampai tanggal 30 Januari), mereka meminta saya agar membaca kembali naskah kontrak yang panjangnya berlembar-lembar.
Benar saja, di poin ke 14 ada aturannya. Saya cuma bisa nyengir sambil menepuk jidad. Mending kalau cuma $2.5. Lha ini ratusan ribu rupiah. Cukup membuat saya “getun” (menyesal).

Baiklah, itu memang kesalahan saya yang tidak mau membaca Master Service Agreement. Dengan berat hati, akhirnya di akhir bulan Januari saya membayar layanan bulan Februari lalu minta dihentikan layanannya. Berarti saya membayar satu bulan yang sebenarnya tidak dipakai.
Ibaratnya naik taksi sejauh 30 km, ketika saya sampai di tujuan, si sopir taksi meminta saya membayar 2 kali jarak tempuh.
Si sopir taksi beralasan, “Seharusnya bapak bilang sejak 8 kilometer sebelum sampai tujuan. Kalau bilangnya sekarang, bapak harus membayar dua kali lipat dari tarif yang terlihat di argo.”
Begitu kira-kira gambarannya.

Penutup

Artikel ini tidak ada niat buruk apapun. Justru sebagai dorongan agar ke depan produk-produk dalam negeri makin baik sehingga di masa yang akan datang saya bisa memindahkan semua website dari luar negeri ke dalam negeri. Ingat bahwa Alibaba Cloud akan membuka datacenter-nya di Jakarta. Bagaimana bila Alibaba Cloud membuka tarif $4.5/bulan untuk RAM 1 GB? Tentu ini bisa “mematikan” lapak orang lain yang masih membuka tarif ratusan ribu rupiah untuk RAM yang hanya 512 MB.

Akhir kata, artikel ini disudahi dengan kalimat, “Aku Cinta Produk-Produk Indonesia. Semoga makin baik. Semangat!”

Web Hosting

One Response to “Server Dalam Negeri? Maaf, Nggak Dulu Deh”
  1. Rizqi Fahma 15 December 2020

Leave a Reply