Sekolah Swasta Murah. Baikkah Bila Dipilih?

Bulan Mei berarti bulannya para orang tua mencarikan pendidikan terbaik untuk putra-putrinya. Kalau bisa, anaknya harus mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Memang pendidikan bukan jaminan kesuksesan seseorang. Ada orang sukses yang hanya lulusan SD. Tapi ini suatu keberuntungan yang jarang ditemui. Yang banyak ditemui adalah orang-orang sukses dengan latar belakang pendidikan yang mendukung. Ibaratnya, mungkin saja seseorang dengan mata tertutup bisa menembak tepat mengenai sasaran. Tapi ini suatu keberuntungan. Dari seribu kali menembak membabi-buta, mungkin hanya satu yang mengenai sasaran. Di pihak lain, seorang sniper (penembak runduk) yang terlatih dan menggunakan senapan canggih, mungkin saja tembakannya meleset. Tapi yang meleset mungkin cuma satu atau dua peluru. Ratusan lainnya tepat mengenai sasaran.

Lembaga pendidikan berkualitas tentu diminati. Bila peminatnya membludak, akhirnya harus melalui saringan. Calon pelajar yang lebih cerdas tentu berpeluang lebih besar untuk diterima. Demikian pula dengan calon pelajar yang orang tuanya kaya raya. Bila tidak diterima di sekolah negeri, bisa memilih sekolah swasta apa pun yang diinginkan. Kadangkala, sekolah swasta justru lebih bagus kualitasnya dari pada sekolah negeri.

Akhirnya, sekolah negeri ataupun sekolah swasta yang berkualitas telah terisi oleh pelajar cerdas maupun pelajar yang orang tuanya kaya. Yang tidak diterima, “terpaksa” mencari sekolah swasta alternatif.

MOTIVASI

Seseorang menempuh pendidikan ada 2 macam motivasi. Yang pertama karena ingin bisa, ingin tahu, ingin cerdas. Pelajar jenis ini rajin menimba ilmu. Kalau perlu, ikut pelajaran tambahan di luar sekolah, misalnya mengikuti les di bimbel. Motivasi ke 2 karena hanya ingin mendapat ijazah, atau karena dipaksa orang tuanya untuk sekolah padahal hati ingin menjadi anak jalanan yang nongkrong di pinggir jalan atau mengikuti balapan liar.

Zaman dulu, pelajar seperti ini bisa tidak naik kelas. Tidak naik kelas berarti memalukan keluarga. Si anak bisa dipukuli orang tuanya. Ada sisi positifnya, yaitu si anak akan lebih serius belajar.

Tapi sistem pendidikan sekarang (dengan remedial) menjadikan seseorang hampir mustahil tidak naik kelas kecuali sangat parah misalnya satu bulan tidak pernah masuk sekolah. Bila nilainya di bawah standar yang ditentukan, dia harus mengulang belajar kemudian mengikuti ujian. Istilahnya remedial. Seringkali justru gurunya yang mengejar-ngejar muridnya yang mendapat nilai masih kurang agar mengikuti remedial. Idealnya, remedial adalah proses belajar kembali. Tapi ini hanya cocok untuk negara maju atau sekolah unggulan di mana gurunya hanya mengajar beberapa kelas dengan jumlah pelajar sedikit. Di Indonesia, seorang guru bisa mengajar setiap pekan sampai 40 jam pelajaran, dengan satu kelas berisi 36 pelajar. Belum lagi ditambah puluhan jenis administrasi guru (rencana mengajar sampai analisis nilai), pekerjaan sebagai Ketua Jurusan, kegiatan pelatihan di luar kota, ISO, LSP, sekolah rujukan, pemberkasan berulang setiap tunjangan akan cair, legalisir ijazah, legalisir buku tabungan bank, mengisi formulir, mengisi biodata secara online, dan sebagainya. Waktunya tersita habis dan akhirnya kelelahan. Guru IT lebih setres lagi karena harus terus belajar sebab perkembangan teknologi sangat pesat. Maka remedial seringkali hanya berupa pemberian soal yang bobotnya lebih mudah. Ada juga guru yang idealis. Kualitas baginya nomor satu sehingga si murid tidak kunjung lulus walau pun berkali-kali mengikuti remedial. Akhirnya setelah mendapat tekanan dari wali kelas yang tidak mau nge-print nilai raport berkali-kali, dan saran dari Kepala Sekolah, si pelajar pun naik kelas atau lulus 100%. Kualitas? Ah, itu persoalan lain.

EKONOMI

Sudah jelas disebutkan di atas. Pelajar yang cerdas akan masuk ke lembaga pendidikan yang berkualitas. Cerdas tak berarti orang tuanya kaya. Ada juga anak tukang becak yang justru pendidikannya sampai S3. Sedangkan orang tua yang kaya raya, akan “memaksa” anaknya untuk ikut segala jenis bimbel yang pada akhirnya juga bisa masuk ke lembaga pendidikan yang berkualitas dan bisa mengimbangi anak-anak cerdas ketika di dalam kelas.

Bagaimana bila orang tuanya kurang mampu dan anaknya tidak cerdas? Beberapa Pemerintah Daerah mewajibkan sekolah negeri mengalokasikan sekian persen untuk pelajar yang orang tuanya tidak mampu. Akhirnya bisa juga masuk ke sekolah favorit. Tapi namanya juga sekolah favorit, isinya pasti mayoritas pelajar cerdas. Yang tidak cerdas tentu akan terseok-seok atau malah “diasingkan” kawan-kawannya karena dianggap menjadi beban ketika harus bekerja kelompok.

Beberapa orang yang anaknya tidak masuk ke sekolah favorit, memilih memasukkan ke sekolah swasta. Sekolah swasta yang bagus biasanya SPP-nya tinggi. SPP tinggi berarti gaji guru-gurunya besar. Gaji besar berarti persaingan makin ketat. Guru yang kurang bagus akan tereliminasi, digantikan guru yang lebih bagus.

Persaingan di sekolah swasta sangat ketat kalau tidak dibilang masalah “hidup mati”. Sudah terbukti, ada beberapa sekolah swasta yang bangkrut karena tidak mendapat murid baru. Untuk mensiasati agar tidak bangkrut, biaya diturunkan. Bahkan ada sekolah swasta yang benar-benar gratis. Gaji guru didapat dari bantuan pemerintah (BOS) yang tentu saja dirasa kurang mencukupi. Terpaksa guru di sekolah tersebut juga mengajar di sekolah lain agar “dapur tetap ngebul” dengan resiko kelelahan, atau bila kemampuannya bagus, akan pindah ke sekolah yang gajinya lebih besar. Sekolah dengan guru bergaji besar maka SPP-nya pun harus besar. SPP bisa besar bila peminat sekolah tersebut membludak. Peminat membludak bila kualitas sekolahnya bagus. Sekolah bagus salah satu faktornya karena gaji gurunya yang besar sehingga timbul persaingan ketat dan “seleksi alam” yang lebih berat. Begitu seterusnya seperti mata rantai roda yang berputar tiada ujungnya. Kepala Sekolah swasta dibuat pusing, sektor mana yang harus diprioritaskan untuk dibenahi lebih dulu karena saling terkait.

Gaji Rp 35.000,-

Gaji Rp 35.000,-

Banyak orang awam mengira, gaji guru zaman sekarang sudah besar. Itu tidak sepenuhnya benar. Di beberapa provinsi, pendapatan total (gaji + sértifikasi + tunjangan kinerja) guru PNS memang bisa belasan juta rupiah. Tapi di provinsi lain, pendapatan guru PNS bisa hanya sebesar UMR.
Gaji guru di sekolah swasta sangat bervariasi. Yang favorit bisa puluhan juta. Yang tidak favorit bisa di bawah Rp 1 juta/bulan, lebih kecil dari pada gaji SPG di mal.

Karena pelajar cerdas telah berkumpul di sekolah-sekolah favorit dan orang tua yang kaya raya telah memasukkan anaknya di sekolah swasta favorit, akhirnya yang masuk di sekolah swasta tidak favorit adalah sisa-sisanya. Bukan berarti di sekolah itu tidak ada pelajar cerdas. Mungkin saja karena sesuatu hal —misalnya terlalu percaya diri akan diterima di sekolah negeri sehingga tidak mendaftar di sekolah swasta— mengakibatkan harus mendaftar di sekolah swasta yang masih membuka pendaftaran setelah pengumuman PPDB. Sekolah swasta favorit tentu saja telah tutup, bahkan telah penuh sebelum PPDB sekolah negeri dibuka.

Menjadi pelajar cerdas di sekolah swasta tidak favorit, sisi positifnya akan selalu ranking satu, tapi sisi negatifnya yaitu dikelilingi teman-teman di kelasnya yang kemampuannya di bawah dirinya. Ibarat petinju, “sparing partner”-nya kurang tangguh. Dia tidak tahu bahwa di luar sana, banyak petinju dengan pukulan lebih keras. Akibatnya? Ketika lulus sekolah, dia baru menyadari bahwa “lawan sesungguhnya” bukan teman-teman di kelasnya yang suka tidur di kelas atau bolos sekolah, tapi jutaan pelajar yang telah ditempa bertahun-tahun di sekolah berkualitas yang suasana belajar-mengajarnya bisa membuat ubun-ubun sebagian muridnya mengeluarkan asap saking sulitnya.

Intinya sih: Jadilah pelajar yang cerdas. Tekun belajar. Seorang binaragawan yang berbadan kekar, tidak didapat dari duduk-duduk di kursi malas. Dia harus mengikuti pelatihan yang membosankan dan menyakitkan, sampai-sampai ototnya terasa terbakar karena mengangkat beban yang sangat berat. Bagi orang tua, pendidikan anak-anak harus dijadikan prioritas utama. Kalau perlu, kerja keras jungkir balik dari Subuh sampai larut malam agar anaknya bisa masuk ke sekolah berkualitas. “Jer Basuki Mowo Beyo” kata orang Jawa, yang artinya adalah kesuksesan memang membutuhkan biaya.

Tapi bila anda salah seorang yang “terpaksa” harus menyekolahkan anaknya di sekolah swasta yang murah, janganlah berkecil hati. Kualitas pendidikan bukan sepenuhnya ditentukan oleh guru dan lembaga pendidikannya, tapi 49% ditentukan oleh muridnya itu sendiri. Tetap semangat dan tetap optimis. Semoga sukses!

Mawan A. Nugroho.

Web Hosting